Mengenali Potensi dan Membangun Sebuah tim dengan Experiental learning


Banyak model yang ditawarkan menyangkut experiental learning. Salah satu model yang ditawarkan (dari banyak model yang dirancang) Boulder Experiental learning yang berpusat di Universitas Colorado AS adalah konsep belajar yang menggabungkan antara unsur rekreasi dan petualangan dengan tujuan membangun dan meningkatkan kerjasama tim. Umumnya, target pelatihan experiental learning yang satu ini, lebih ditujukan untuk mereka yang sudah bekerja.

Seperti juga bentuk pelatihan lainnya, efek positif dari pelatihan yang berdasar pada experiental learning berbeda untuk setiap individu. Artinya tidak ada perubahan yang bisa didapat hanya dalam waktu satu malam, melainkan harus melalui proses yang dilakukan secara berurutan. Setiap individu yang terlibat dalam proses pelatihan yang dikembangkan Boulder ini, beroleh kesempatan untuk menghadapi beragam masalah dan tantangan yang bisa memberikan efek dramatis terhadap pola pikir dan kehidupannya.

Beberapa manfaat pola experiental learning dalam membangun dan meningkatkan kerjasama tim antara lain adalah:

* mengembangkan dan meningkatkan rasa saling ketergantungan antar sesama anggota tim
* membuat peserta mengenal anggota tim lainnya lebih dekat lagi
* meningkatkan keterlibatan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
* mengidentifikasi dan memanfaatkan bakat tersembunyi dan kepemimpinan
* meningkatkan empati dan pemahaman antar sesama anggota tim.

Sedang manfaat pola experiental learning secara individual antara lain adalah:

* meningkatkan kesadaran akan harga diri dan rasa percaya diri
* meningkatkan kemampuan berkomunikasi, perencanaan dan pemecahan masalah
* menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan untuk menghadapi situasi yang buruk
* menumbuhkan dan meningkatkan rasa percaya antar sesama anggota tim
* menumbuhkan dan meningkatkan semangat kerjasama dan kemampuan untuk berkompromi
* menumbuhkan dan meningkatkan komitmen dan tanggung jawab
* menumbuhkan dan meningkatkan kemauan untuk memberi dan menerima bantuan
* mengembangkan ketangkasan, kemampuan fisik dan koordinasi.

Tantangan dan resiko yang terkait pada program terkadang tidak mengenal kompromi. Untuk peserta, pengalaman yang akan diterima kadang membuat mereka merasa tegang dan juga menyenangkan. Idealnya, begitu mereka mulai mempercayai dan berani untuk mencoba, mereka akan berhasil secara fisik dan emosional dan mengetahui bahwa sesuatu yang tampaknya tidak mungkin untuk dilakukan sebenarnya dapat dilakukan.

Ada beberapa tahapan program yang harus dijalani bagi setiap orang yang terlibat dalam experiental learning. Pertama adalah time based competition. Tahapan ini mengharuskan setiap anggota membangun kerjasama tim untuk memececahkan masalah, mempelajari keahlian baru dan menerapkan dengan menggunakan sumberdaya yang terbatas.

Tahapan program ini menggunakan waktu sebagai paramater utama penilaian. Setiap tim akan diminta saling bersaing memecahkan masalah secara simultan. Setiap masalah memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang memerlukan partisipasi seluruh tim atau hanya sebagian anggota tim. Baik partisipasi yang menggunakan kemampuan fisik maupun mental. Tim juga harus berfikir cepat, bagaimana caranya menggunakan sumberdaya yang tersedia dalam jumlah terbatas secara maksimal.

Untuk memenangkan tahap Time Based Competition ini, setiap tim dituntut mampu melakukan perencanaan secara cepat, tepat dan efektif, kerjasama, komunikasi, koordinasi dan semangat membangun kerjasama di antara sesama anggota tim.

Tahapan program berikutnya adalah Raider of the Lost Ark. Tujuan yang ingin dicapai pada tahapan ini adalah mengembangkan kepemimpinan, meningkatkan hubungan antar individu, meningkatkan rasa saling mempercayai dan kerjasama.

Prinsipnya, setiap tim yang terlibat dalam program ini, diajak melakukan simulasi mencari harta karun. Setiap tim dilengkapi dengan peralatan dan petunjuk yang cukup untuk menemukan harta karun tersebut. Pengalaman yang ingin ditularkan pada setiap tim dalam program ini adalah setiap anggota tim akan menyadari pentingnya sebuah kerjasama dan kemitraan, karena satu sama lain anggota tim memiliki saling ketergantungan dalam menyelesaikan pencarian.

Program ini melatih individu yang terbiasa bekerja sendiri untuk mulai membiasakan diri bekerja secara tim. Langkah ini perlu untuk membangun kekuatan bersama dalam menyelesaikan misi.

Raider of the Lost Ark memberikan tantangan yang hampir sama dengan keadaan di lingkungan kerja, anggota tim harus bekerjasama untuk memecahkan masalah dengan informasi yang sangat terbatas.

Berikutnya adalah tahapan yang disebut "Mission: Its Possible". Pesan yang ingin disampaikan dalam tahapan program pelatihan ini adalah peserta diminta untuk merasakan pengalaman dan menarik hasil positif dalam kepemimpinan, pembinaan, hubungan profesional, membangun motivasi dan kerjasama.

Program ini diyakini memberikan pengalaman yang sangat menarik dan tak terlupakan bagi peserta. Peserta melakukan ekspedisi untuk mencapai puncak gunung dengan segala cara, seperti traversing (merayap secara horizoantal di tebing), climbing (memanjat), scrambling (bersaing) dan chimney (keluar sebgai pemenang).

Manfaat yang terasa dari program ini adalah: meningkatnya rasa percaya diri, memahami resiko dalam mengambil keputusan dan berkembangnya komunikasi antar sesama anggota tim, karena untuk mencapai puncak, setiap anggota tim harus mempelajari dan mengembangkan kemampuan baru serta meningkatkan kepercayaan pada sesama anggota tim.

Dalam program ini anggota tim juga akan belajar mengenai perlunya kesabaran dan keteguhan hati untuk mencapai tujuan dimana sesama anggota tim akan saling memantau kondisi anggota tim lainnya.

Tahapan terakhir dari program experiental learning yang satu ini adalah pathfinder. Tujuan tahapan ini adalah mengembangkan kepemimpinan, meningkatkan rasa saling mempercayai dan kerjasama, mempelajari hal baru dan menerapkannya dengan menggunakan sumber daya yang terbatas...

Tahapan program ini merupakan gabungan dari program Raider of the Lost Ark dan Mission: It's Possible dan akan menjadi pengalaman yang tak akan pernah terlupakan bagi peserta. Program ini menggabungkan semua aspek dalam olahraga petualangan mulai dari navigasi, panjat tebing sampai dengan arung jeram. Semua aspek tersebut telah dirancang secara khusus untuk mengeksplorasi elemen yang mendukung timbulnya kerjasama tim yang efektif, karena peserta saling tergantung satu sama lain untuk menyelesaikan misi yang harus mereka selesaikan.

Beberapa isu yang akan muncul dari selama menjalani program Pathfinder adalah: kepemimpinan, pemecahan masalah, menghilangkan konflik, kerjasama tim, komunikasi, menghilangkan rasa takut, menyediakan/memberikan bantuan, kesadaran atas keterbatasan kemampuan, dan semangat untuk menyelesaikan misi.

Selama menjalani program, tim akan berlatih bagaimana mengelola sumber daya yang dimiliki secara optimal agar dapat mencapai tujuan. Tertarik mencoba? (sumber : http://www.tempo.co.id/edunet berbagai sumber)

Experiental Learning Lebih Dari Sekadar Belajar


Banyak cara menjadi pintar. Satu yang paling klasik dan kita kenal adalah belajar serius melalui sekolah formal.

Pilihan ini memang yang paling populer sejak jaman tempo kala. Itu terbukti dari banyaknya lahir orang pintar dengan beragam gelar.

Repotnya, dunia usaha dan lapangan kerja yang tersedia sekarang, ternyata tak cukup direbut hanya dengan berbekal label 'pintar' secara formal, tapi juga harus disertai dengan sederet referensi tambahan seperti kemampuan berbahasa atau ketrampilan lainnya. Artinya dunia usaha kini, apapun bidangnya, menuntut orang tak lagi hanya sekadar pandai secara intelektual, tapi juga memiliki skill (ketrampilan) yang mumpuni untuk melakukan pekerjaan tertentu.

Tuntutan itu, mau tak mau, menuntut dunia pendidikan kini harus merancang dan mengembangkan program pendidikan yang lebih kompromis terhadap tuntutan pasar tenaga kerja. Salah satu pendekatan yang coba mereka lakukan adalah mendesain program Experiental Learning (belajar dari pengalaman).

Di banyak negara maju, sebut saja Amerika dan Eropa, model program Experiental Learning makin banyak ditawarkan berbagai universitas sebagai sebuah alternatif belajar. Sebagian dari universitas itu menyebut program ini sebagai model belajar cooperative. Tapi apapun istilahnya, prinsipnya model pendidikan itu memungkinkan setiap orang yang belajar bisa terlibat langsung dalam berbagai aktivitas ang berkaitan dengan bidang studi yang digelutinya. Dalam beberapa hal, cara ini dianggap lebih mudah dan memungkinkan setiap orang yang belajar dengan cara ini, bisa memahami secara utuh semua aspek menyangkut dunia yang akan menjadi pilihan karirnya nanti.

Konsep Experiental Learning ini, sesungguhnya relatif sederhana. Mereka mencoba mengkominasikan model belajar-mengajar sekolah formal yang selama ini lebih banyak dilakukan di dalam kelas, dengan belajar di luar kelas. Material pendidikan di luar kelas itulah yang diorientasikan untuk memberikan pengalaman pada siswa sesuai dengan bidang studi yang ditekuninya.

Menurut sejarahnya, program Experiental Learning awalnya dikembangkan di sekolah-sekolah kejuruan, seperti bisnis, teknologi atau pendidikan. Sekolah-sekolah ini umumnya memang memprogramkan materi khusus bagi siswa mereka untuk bisa mendapatkan pengalaman bekerja di lingkungan yang sesuai dengan bidang studi yang mereka tekuni atau dalam istilah kita disebut kerja praktek atau magang.

Secara umum, sudah sejak lama sebetulnya banyak pendapat yang menyebut bahwa model belajar formal yang dilakukan di dalam kelas, relatif tidak cukup memberikan bekal bagi siswa pada saat mereka harus bekerja. Dengan kata lain, ilmu yang digali di dalam kelas, tidak bisa berfungsi secara sistematis di dunia nyata. Dan karenanya muncul kebutuhan akan sebuah program belajar yang secara sistematis bisa menjembatani dua kebutuhan tadi. Maka lahirlah sebuah pendekatan ayng disebut sebagai Experiental Learning itu.

Makin hari, pendekatan Experiental Learning ini, makin banyak diminati. Sehingga mau tak mau, peningkatan minat siswa atau mahasiswa untuk mengambil program Experiental Learning itu, mendorong kalangan dunia pendidikan juga mengembangkan program serupa. Bahkan belakangan, banyak sekolah lanjutan atas (SMU) di AS, kini juga sibuk mengembangkan program yang secara mendasar bisa memberikan siswa lebih banyak kesempatan untuk menyerap materi pendidikan secara konseptual dan empirik sekaligus.

Paduan antara pemahaman konseptual dan praktikal itulah yang terus dikembangkan menjadi sebuah program Experiental Learning di segala lapisan pendidikan. Tidak hanya bisa dikembangkan untuk mereka yang sudah duduk di tingkat pendidikan tinggi, tapi juga mereka yang masih duduk di tingkat pendidikan lanjutan dan dasar. Bahkan mereka yang mungkin sudah melewati pendidikan tinggi namun masih ingin menambah dan mengembangkan pengetahuan dan kemampuannya.
(Sumber : http://www.tempo.co.id/edunet ; meiky/berbagai sumber)