Banyak cara menjadi pintar. Satu yang paling klasik dan kita kenal adalah belajar serius melalui sekolah formal.
Pilihan ini memang yang paling populer sejak jaman tempo kala. Itu terbukti dari banyaknya lahir orang pintar dengan beragam gelar.
Repotnya, dunia usaha dan lapangan kerja yang tersedia sekarang, ternyata tak cukup direbut hanya dengan berbekal label 'pintar' secara formal, tapi juga harus disertai dengan sederet referensi tambahan seperti kemampuan berbahasa atau ketrampilan lainnya. Artinya dunia usaha kini, apapun bidangnya, menuntut orang tak lagi hanya sekadar pandai secara intelektual, tapi juga memiliki skill (ketrampilan) yang mumpuni untuk melakukan pekerjaan tertentu.
Tuntutan itu, mau tak mau, menuntut dunia pendidikan kini harus merancang dan mengembangkan program pendidikan yang lebih kompromis terhadap tuntutan pasar tenaga kerja. Salah satu pendekatan yang coba mereka lakukan adalah mendesain program Experiental Learning (belajar dari pengalaman).
Di banyak negara maju, sebut saja Amerika dan Eropa, model program Experiental Learning makin banyak ditawarkan berbagai universitas sebagai sebuah alternatif belajar. Sebagian dari universitas itu menyebut program ini sebagai model belajar cooperative. Tapi apapun istilahnya, prinsipnya model pendidikan itu memungkinkan setiap orang yang belajar bisa terlibat langsung dalam berbagai aktivitas ang berkaitan dengan bidang studi yang digelutinya. Dalam beberapa hal, cara ini dianggap lebih mudah dan memungkinkan setiap orang yang belajar dengan cara ini, bisa memahami secara utuh semua aspek menyangkut dunia yang akan menjadi pilihan karirnya nanti.
Konsep Experiental Learning ini, sesungguhnya relatif sederhana. Mereka mencoba mengkominasikan model belajar-mengajar sekolah formal yang selama ini lebih banyak dilakukan di dalam kelas, dengan belajar di luar kelas. Material pendidikan di luar kelas itulah yang diorientasikan untuk memberikan pengalaman pada siswa sesuai dengan bidang studi yang ditekuninya.
Menurut sejarahnya, program Experiental Learning awalnya dikembangkan di sekolah-sekolah kejuruan, seperti bisnis, teknologi atau pendidikan. Sekolah-sekolah ini umumnya memang memprogramkan materi khusus bagi siswa mereka untuk bisa mendapatkan pengalaman bekerja di lingkungan yang sesuai dengan bidang studi yang mereka tekuni atau dalam istilah kita disebut kerja praktek atau magang.
Secara umum, sudah sejak lama sebetulnya banyak pendapat yang menyebut bahwa model belajar formal yang dilakukan di dalam kelas, relatif tidak cukup memberikan bekal bagi siswa pada saat mereka harus bekerja. Dengan kata lain, ilmu yang digali di dalam kelas, tidak bisa berfungsi secara sistematis di dunia nyata. Dan karenanya muncul kebutuhan akan sebuah program belajar yang secara sistematis bisa menjembatani dua kebutuhan tadi. Maka lahirlah sebuah pendekatan ayng disebut sebagai Experiental Learning itu.
Makin hari, pendekatan Experiental Learning ini, makin banyak diminati. Sehingga mau tak mau, peningkatan minat siswa atau mahasiswa untuk mengambil program Experiental Learning itu, mendorong kalangan dunia pendidikan juga mengembangkan program serupa. Bahkan belakangan, banyak sekolah lanjutan atas (SMU) di AS, kini juga sibuk mengembangkan program yang secara mendasar bisa memberikan siswa lebih banyak kesempatan untuk menyerap materi pendidikan secara konseptual dan empirik sekaligus.
Paduan antara pemahaman konseptual dan praktikal itulah yang terus dikembangkan menjadi sebuah program Experiental Learning di segala lapisan pendidikan. Tidak hanya bisa dikembangkan untuk mereka yang sudah duduk di tingkat pendidikan tinggi, tapi juga mereka yang masih duduk di tingkat pendidikan lanjutan dan dasar. Bahkan mereka yang mungkin sudah melewati pendidikan tinggi namun masih ingin menambah dan mengembangkan pengetahuan dan kemampuannya.
(Sumber : http://www.tempo.co.id/edunet ; meiky/berbagai sumber)
Experiental Learning Lebih Dari Sekadar Belajar
19/10/09 Label: Experiental Learning
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar